Mendengar kata ‘cinta’, barangkali di pikiran kita terbesit akan
keidentikannya dengan ABG (Anak Baru Gede). Karena biasanya di masa itu
seseorang pertama kali dirundung oleh perasaan cinta kepada lawan
jenisnya. Cinta berembrio pada rasa suka dan kasih. Dan perasaan cinta
diluapkan manusia dengan cara yang berbeda-beda. Atas dasar cinta pula
seorang laki-laki dan perempuan mengikatkan bathinnya untuk menikah
guna melestarikan keturunannya.
Memaknai definisi ‘cinta’, dunia
Islam tidak pernah terlepas dari pemikiran seorang sufi legendaris
bernama Rabi'ah Al- Adawiyah. Suatu ketika berziarah di makam
Rasulullah, ia berkata: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak
mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena
telah penuh cintaku pada Allah SWT". Konon, Rabi’ah menegaskan
bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya.
Dengan kata lain, mencintai ciptaan Allah berarti pula mencintai Allah.
Sabda Rasulullah SAW: "Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan
kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa
saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih
aku cintai dari pada air yang dingin". Menurut Rabi’ah, cinta harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selanjutnya, cinta kepada Allah harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested).
Imam Al Ghozali dalam kitab Al Mahabbah
memaknai cinta sebagai tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan
menempati level yang tinggi. Dalam ranah tasawwuf, setelah mencapai
maqam mahabbah tidak ada lagi maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Ghozali, kata mahabbah berasal dari kata hubb yang
sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau
inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir
dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Tidak jarang kita berbeda
dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah yang
merupakan inti ajaran tasawuf adalah kekuatan yang bisa menyatukan
perbedaan-perbedaan itu. Beliau berpandangan bahwa makhluk yang paling
bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah.
Menurutnya, ar-ru'yah (melihat Allah) merupakan puncak kebaikan dan
kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan
kenikmatan perjumpaan dengan-Nya. Meminta surga tanpa mengharap
perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan "bodoh" dalam terminologi sufi
dan mukmin pecinta.
Sedangkan Bayazid Bustami mengartikan bahwa
cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Allah
meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih,
meskipun itu sedikit. Menurut Bustami, ciri-ciri seorang yang mencintai
Allah ada dua. Pertama, rela berkorban sebesar apapun demi kekasih.
Kedua, selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan
Allah.
Kerinduan adalah salah satu aspek dari cinta. Sufi kondang
Jalaluddin Rumi mendeskripsikannya dalam matsnawi sebagai kerinduan
manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu" sebagai
kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang
merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan
yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya
seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang
merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan
untuk melihat-Nya dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Pedoman
menjalani hidup yang dicintai Allah dan yang diampuni dosa-dosanya
adalah firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 31 sebagai berikut:
ْقُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُم
Katakanlah:
”jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Menurut Wasithah dalam Kajian Ahad Pahing,
23 Januari 2010 setidaknya ada tiga hal besar yang diperintahkan oleh
Allah dalam ayat di atas. Kata ’Qul’ adalah fiil amr (dari kata dasar
’Qaala’) yang artinya katakanlah. Tidak lain ialah perintah Allah yang
berlaku sekarang ini sehingga apabila tidak dilaksanakan sama artinya
dengan berani menentang-Nya dan azab yang berat menjadi resikonya. Tiga
hal besar yang dimaksud adalah, jika kamu benar-benar mencintai Allah
(yang pertama). Yang kedua: maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai
kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Yang ketiga: Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Tiga hal besar tersebut tidak mungkin terlaksana
selama manusia masih terbelit oleh hawa nafsu dan watak akunya.
Pertama, jika kamu benar-benar mencintai Allah. Kunci untuk
mencintai-Nya adalah mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya
Allah. Karena Allah hanyalah nama. Namanya Dzat AL-Ghayb Yang Mutlak
Wujud-Nya. Dekat sekali di dalam rasa hati. Asal fitrah jatidiri
manusia tercipta dan tempat kembali dengan selamat pulang guna bertemu
dengan-Nya. Itulah yang disebut ’pintunya mati’. Sehingga tidak
mengherankan jika di dalam dada manusia tersimpan rahasia batin, yakni
rasa, di dalamnya terdapat lubang (misykat atau minhajun) berisi cahaya.
Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah, yang cahaya dengan Dzat-Nya Allah kekal
menyatu bagaikan sifat dan mausufnya atau bagaikan kertas dan putihnya.
Tempat titik temunya fitrah jatidiri manusia atau benih gaib sucinya
manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt. (QS. Ar Ruum : 30).
Kedua,
maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni
dosa-dosamu, apabila kamu benar-benar mencintai Allah. Fattabi’uni
(maka ikutilah aku) adalah fiil amar yang berlaku sekarang ini. Aku
yang diperintahkan Allah untuk diikuti itu adalah hamba yang secara hak
dan sah dikehendaki Allah dengan hidayah-Nya sebagai penerus yang
mewakili tugas dan kewajiban Junjungan Nabi Muhammad SAW Rasulullah
yang hak-hak beliau tidak pernah habis sampai kiyamat. Hal yang juga
ditegaskan dalam QS. Lukman ayat 15. Wattabi’ sabila man anaaba
ilaiyya. Dan ikutilah jalan orang yang telah pernah kembali kepada-Ku.
Sebab hamba ini oleh Allah telah pernah dibuat kembali kepada-Nya. Dan
jalan itu adalah Shirathal Mustaqim (Jalan lurus-Nya Allah) dengan
memadukan kewajiban syariat dan hakikat yang terukir dalam sumpah dan
janji.
Ketiga, senang bersama-sama saudara setujuannya berjalan
menuju kepada Allah hingga sampai. Mereka inilah yang disebut Asy
Syaththar, orang-orang yang ahli mencintai Allah sebagai jalan yang
tetap terhadap selamatnya mati yang benar. Untuk hal ini harus mau
terus belajar bagaimana menghayati dasar taubat. Karena itulah maka
kita selalu mohon kehadirat-Nya agar kita semua selalu memperoleh
berberan, berkah dan sawab pangestunya Wasithah. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar