Jumat, 08 Juni 2012

Mendengar kata ‘cinta’

Mendengar kata ‘cinta’, barangkali di pikiran kita terbesit akan keidentikannya dengan ABG (Anak Baru Gede). Karena biasanya di masa itu seseorang pertama kali dirundung oleh perasaan cinta kepada lawan jenisnya. Cinta berembrio pada rasa suka dan kasih. Dan perasaan cinta diluapkan manusia dengan cara yang berbeda-beda. Atas dasar cinta pula seorang laki-laki dan perempuan mengikatkan bathinnya untuk menikah guna melestarikan keturunannya.
Memaknai definisi ‘cinta’, dunia Islam tidak pernah terlepas dari pemikiran seorang sufi legendaris bernama Rabi'ah Al- Adawiyah. Suatu ketika berziarah di makam Rasulullah, ia berkata: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah SWT". Konon, Rabi’ah menegaskan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Dengan kata lain, mencintai ciptaan Allah berarti pula mencintai Allah. Sabda Rasulullah SAW: "Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin". Menurut Rabi’ah, cinta harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selanjutnya, cinta kepada Allah harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested).
Imam Al Ghozali dalam kitab Al Mahabbah memaknai cinta sebagai tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan menempati level yang tinggi. Dalam ranah tasawwuf, setelah mencapai maqam mahabbah tidak ada lagi maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Ghozali, kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Tidak jarang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah yang merupakan inti ajaran tasawuf adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Beliau berpandangan bahwa makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah. Menurutnya, ar-ru'yah (melihat Allah) merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan-Nya. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan "bodoh" dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
Sedangkan Bayazid Bustami mengartikan bahwa cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Allah meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih, meskipun itu sedikit. Menurut Bustami, ciri-ciri seorang yang mencintai Allah ada dua. Pertama, rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Kedua, selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah.
Kerinduan adalah salah satu aspek dari cinta. Sufi kondang Jalaluddin Rumi mendeskripsikannya dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu" sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat-Nya dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Pedoman menjalani hidup yang dicintai Allah dan yang diampuni dosa-dosanya adalah firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 31 sebagai berikut:
ْقُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُم
Katakanlah: ”jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut Wasithah dalam Kajian Ahad Pahing, 23 Januari 2010 setidaknya ada tiga hal besar yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat di atas. Kata ’Qul’ adalah fiil amr (dari kata dasar ’Qaala’) yang artinya katakanlah. Tidak lain ialah perintah Allah yang berlaku sekarang ini sehingga apabila tidak dilaksanakan sama artinya dengan berani menentang-Nya dan azab yang berat menjadi resikonya. Tiga hal besar yang dimaksud adalah, jika kamu benar-benar mencintai Allah (yang pertama). Yang kedua: maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Yang ketiga: Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tiga hal besar tersebut tidak mungkin terlaksana selama manusia masih terbelit oleh hawa nafsu dan watak akunya. Pertama, jika kamu benar-benar mencintai Allah. Kunci untuk mencintai-Nya adalah mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Allah. Karena Allah hanyalah nama. Namanya Dzat AL-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya. Dekat sekali di dalam rasa hati. Asal fitrah jatidiri manusia tercipta dan tempat kembali dengan selamat pulang guna bertemu dengan-Nya. Itulah yang disebut ’pintunya mati’. Sehingga tidak mengherankan jika di dalam dada manusia tersimpan rahasia batin, yakni rasa, di dalamnya terdapat lubang (misykat atau minhajun) berisi cahaya. Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah, yang cahaya dengan Dzat-Nya Allah kekal menyatu bagaikan sifat dan mausufnya atau bagaikan kertas dan putihnya. Tempat titik temunya fitrah jatidiri manusia atau benih gaib sucinya manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt. (QS. Ar Ruum : 30).
Kedua, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu, apabila kamu benar-benar mencintai Allah. Fattabi’uni (maka ikutilah aku) adalah fiil amar yang berlaku sekarang ini. Aku yang diperintahkan Allah untuk diikuti itu adalah hamba yang secara hak dan sah dikehendaki Allah dengan hidayah-Nya sebagai penerus yang mewakili tugas dan kewajiban Junjungan Nabi Muhammad SAW Rasulullah yang hak-hak beliau tidak pernah habis sampai kiyamat. Hal yang juga ditegaskan dalam QS. Lukman ayat 15. Wattabi’ sabila man anaaba ilaiyya. Dan ikutilah jalan orang yang telah pernah kembali kepada-Ku. Sebab hamba ini oleh Allah telah pernah dibuat kembali kepada-Nya. Dan jalan itu adalah Shirathal Mustaqim (Jalan lurus-Nya Allah) dengan memadukan kewajiban syariat dan hakikat yang terukir dalam sumpah dan janji.
Ketiga, senang bersama-sama saudara setujuannya berjalan menuju kepada Allah hingga sampai. Mereka inilah yang disebut Asy Syaththar, orang-orang yang ahli mencintai Allah sebagai jalan yang tetap terhadap selamatnya mati yang benar. Untuk hal ini harus mau terus belajar bagaimana menghayati dasar taubat. Karena itulah maka kita selalu mohon kehadirat-Nya agar kita semua selalu memperoleh berberan, berkah dan sawab pangestunya Wasithah. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar